..::Selamat Datang di Blog Kerohanian Islam SMA Negeri 1 Tawangsari - Sukoharjo::..

Selasa, 07 Juni 2011

LISAN PENGHALANG SURGA

Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim, dan sangat mengingkari (nikmat Allah0. (QS Ibrahim 14:34)

Subhanallah… Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan kita begitu banyak nikmat, yang tak terhitung. Dalam diri manusia saja, Allah memberikan nikmat luaar biasa yang tidak dapat dihargai dengan materi sebesar apapun. Diantara nikmat yang Allah berikan itu adalah dilengkapinya mulut kita dengan lidah yang membuat kita mampu berkomunikasi dengan baik, merasakan lezatnya makanan dan meraih keutamaan disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan berdzikir, membaca Al-Qur’an, berbicara yang santun, beretorika dengan indah untuk mengajak kepada kebaikan, serta keutamaan – keutamaan lainnya.

Namun, seperti redaksi diatas, banyak manusia yang tidak mampu bersyukur, ingkar dan berbuat dzalim atas banyak nikmat yang telah Allah berikan. Nikmat lidah (lisan) yang bisa digunakan sebagai sarana untuk meraih keutamaan dan kedudukan mulia dalam pandangan Allah, justru digunakan untuk hal – hal yang dibenci Allah. Tidak sedikit diantara manusia yang binasa, bahkan menjerumuskan diri dalam kebinasaan disebabkan karena lidahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam: “Dan tidak ada yang menjerumuskan manusia kedalam neraka melainkan akibat lisan – lisan mereka”. Serta pada Hadist lain, ”Yang paling banyak memasukkan manusia kedalam neraka adalah dua lubang : mulut dan kemaluan”.(HR Thirmidzi).

Ringannya Sebuah Kezaliman
Allah berfirman, “Dan aku tiadalah akan melakukan kezaliman kepada hamba – hamba-Ku” (QS. Qaf:29). Ditegaskan Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam : “ Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.”(HR Muslim).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan bahwa Dia mengharamkan atas diri-Nya. Padahal, Allah berkuasa melakukan apapun yang Dia kehendaki. Dia mempunyai kemampuan tanpa dapat dipengarui oleh apapun dan siapapun untuk melakukannya. Dialah pencipta dan penggengam alam semesta, pemberi rezeki dan kehidupan kepada seluruh anggota alam semesta, Pada – Nyalah ketentuan akan kehidupan dan kematian setiap makhluk. Jika Allah sedemikian anti terhadap kezaliman, maka orang yang mengaku sebagai hamba Allah dan cinta kepada-Nya seharusnya menyesuaikan diri untuk tidak melakukan kezaliman pula.

Bentuk kezaliman adalah kemaksiatan dengan aneka peringkatnya baik yang termasuk dosa besar maupun kecil. Kemaksiatan atau perbuatan dosa dikategorikan kezaliman katena orang yang melakukannya telah salah menempatkan. Seharusnya dia menyikapi segala karunia dan kenikmatan dari Allah dengan taat dan ibadah kepada Allah, namun yang ia lakukan malah membangkang dan mencari jalan sendiri. Padahal untuk mensyukuri nikmat nikmat Allah itu, andaipun kita menggunakan seluruh waktu dan tenaga yang ada, maka hal itu tidak akan mencukupinya.
Secara garis besar, kezaliman dibagi menjadi 2, yakni:
1. Zhulmun-nafs (kezaliman terhasap diri sendiri), yang puncaknya adalah al-isyraku billah (menyekutukan Allah).
2. Zhulmul-‘abdi lighairihi (kezaliman seorang hamba terhadap orang lain).
Terkait dengan yang kedua ini, Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam telah mendeklarasikan Hak Asasi Manusia yang harus dihormati dan dihargai oleh orang lain. Pada momentum Haji Wada’, beliau menegaskan: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian adalah haram bagi kalian seperti haramnya hari ini, pada bulan ini, di negeri kalian ini. Camkanlah kata-kataku itu, niscaya kalian akan hidup. Ingat, janganlah kalian saling menzalimi. Tidaklah halal harta seseorang bagi orang lainnya kecuali dengan kerelaan darinya.”
Seluruh anggota tubuh kita bisa terlibat dalam kezaliman. Kezaliman tangan berupa menyakiti, melukai, merampas, dan sebagainya. Kezaliman hati adalah prasangka buruk, iri, dengki atas kebencian tak beralasan. Kezaliman mata, hidung dan telinga bisa dalam bentuk mengendus-endus, menguping, memata-matai kesalahan atau keburukan orang lain. Kezaliman lidah adalah kata-kata kotor, pelecehan, penghinaan dan ghibah.
Allah telah mengingatkan agar kita menjauhi segala macam bentuk kezaliman itu. “Wahai orang-orang yang beriman janganlah satu kaum memperolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang (diolok-olok) itu lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok,… Janganlah kalian melecehkan diri kalian sendiri dan jangan pula memanggil dengan julukan yang buruk…. Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan prasangka, sebab sebagian prasangka itu adalah dosa. Janganlah kalian memata-matai dan janganlah sebagian menggunjing sebagian yang lain.”(Al-Hujurat :11-12)

Diantara kezaliman-kezaliman itu, kezaliman lidah (ghibah, salah satunya) dapat dikategorikan yang paling ‘ringan’ kita lakukan. Berarti pula bahwa kezaliman tersebut paling mungkin atau bahkan sering kita lakukan, sehingga menjadi berbahaya layaknya sebuah penyakit yang menggerogoti diri setiap saat.
Dari Abu Hurairah ra Raulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tahukah kalian apa itu ghibah? Sahabat menjawab: “Allah adan Rasul-Nya lebih mengetahui. Nabi berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu, Sahabat bertanya kembali: “Bagaimana pendapamu jika itu benar adanya? Nabi Shalallohu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang engkau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya (memfitnahnya)”. (HR Muslim). Dalam ghibah terkandung keinginan untuk menghancurkan orang, menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya.
Betapa banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan baik, menjalankan sunnah-sunnah Nabi Shalallohu ‘Alaihi Wasallam, mampu menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khamr, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun tidak mampu menghindarkan lidahnya dari perbuatan ghibah. Meski mereka telah tahu bahwa ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar.
Yang lebih berbahaya lagi ada pada poin : objek ghibah. Biasanya kita cenderung mengghibahi orang atau kelompok, yang justru dekat dengan diri kita. Teman, saudara, keluarga, lembaga, yang kita kenal baik. Bisa dipirkan dengan seksama; bagaimana kita akan berbicara tentang ukhuwah, amal jama’i, terlebih lagi soal itsar (mendahulukan orang lain), jika kita masih terjebak pada keburukan (aib) saudara kita yang seringnya cenderung kita cari-cari dan seolah kita tunggu-tunggu. Jadilah, masalah-masalah umat tak akan pernah bisa terurai. Maka tepatlah tatkala Allah member peringatan:
“Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya…”.(QS AL-Hujurat : 12).
Sungguh, kita pantas berhati-hati pada kezaliman yang ringan namun ‘kejam’ ini.

Penghalang ke Surga
Begitu besar kebencian dan ancaman Allah bagi pelaku ghibah. Maka dari itu, kita perlu mawas diri, karena terkadang kita tidak sadar bahwa apa yang sedang kita perbincangkan adalah ghibah. Ghibah tergolong dosa besar, setara dengan kejahatan. Kecuali, pada ghibah yang diperbolehkan, yaitu pada 6 perkara : Ketika terdzalimi (dianiaya), meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran, meminta fatwa, memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka, ketika seseorang menampakkan kefasikkannya, memanggil seseorang yang terkenal dengan nama itu. (Riyadhus Shalihin).
Ghibah (menggosip/menggunjing) adalah tindakkan yang paling dibenci Allah. Tapi celakannya, kebiasaan ini justru disukai banyak orang, baik di kantor, di tempat kerja atau bahkan dirumah. Kian hari menggunjing seolah mengalami pergeseran makna. Dulu, orang akan tersinggung jika dikatakan tukang gossip. Seseorang yang ketahuan sedang menggunjing biasanya merasa malu. Namun, sekarang kesan buruk tentang menggunjing sudah mengalami pergeseran. Konten menggunjing di create dalam sebuah acara bertajuk infotaiment yang ‘nyaman’ dikonsumsi masyarakat. Acara dikemas dalam bentuk paket hiburan dengan jelas-jelas menyebut kata gossip sebagai bagian dari nama acaranya, pemirsanya pun bahkan disapa bangga dengan istilah “biang gossip”. Makna gossip bergeser dari negative menjadi makna yang nilai rasanya biasa saja.
Ghibah memiliki side effect yang dahsyat luar biasa. Ibaratnya, ghibah bila diteteskan di lautan yang maha luas maka akan bisa merubah total dzat laruitan tersebut.

(edisi 25)
Pertama, orang yang berghibah akan menjadi orang yang muflis (pailit, bangkrut). Muflis adalah orang yang rajin beribadah namun sengsara di akhirat karena pahala ibadahnya telah habis untuk membayar kezalimannya. Sebagaimana sebuah ungkapan: “Orang yang tidak disibukkan dengan kebaikan, maka dia akan sibuk dengan keburukan”. Orang yang berghibah menjadi muflis karena Allah melimpahkan dosa-dosa korbannya kepada pelaku ghibah itu.
Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam berrsabda: “Tahukah engkau siapakah orang-orang bangkrut itu? Mereka adalah umatku yang datang pada hari kiamat dengan shalat, puasa dan zakatnya, tetapi mereka telah mencaci maki, menuduh seseorang tanpa bukti, sehingga semua perbuatannya itu telah menghilangkan perbuatannya. Kemudian ia ditenggelamkan ke neraka jahanam.” (HR Ahamd dan At-Tirmidzi). Dengan kata lain, ghibah bisa menjadi belenggu yang menghalangi diri untuk mencapai ridho dan surga Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menerangkan, bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as yang isinya, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan taubat dari mengumpat-ghibah, dia adalah yang paling akhir masuk suga. Dan barangsiapa meninggal belum bertaubat dari ghibah, dia adalah orang yang pertama kali masuk neraka.”
Kedua, ghibah mempersempit kehidupan. Selain ‘merusak’ kehormatan korban ghibah, menimbulkan luka hati dan memutus silaturahmi, ghibah juga memiliki efek turunan yang sebenarnya merugikan bagi si pelaku. Orang yang suka berghibah, sekali dia menggunjingkan seseorang pada orang lain, orang lain itu tidak hanya menangkap apa yang diucapkan si pelaku. Tapi dia juga menangkap sebuah rumus turunan (kesimpulan), “dia pasti akan pula memanjangkan mulutnya kepada orang lain, bila ada hal yang tidak disukainya pada diri saya.” Dan bahwa si pelaku bukanlah orang yang bisa dipercaya. Dia akan cenderung berhati-hati dan menarik diri, agar tidak menjadi korban berikutnya. Semakin lama, pengghibah akan ‘terisolir’ (meski bukan secara fisik), ucapannya tak lagi dipercaya oleh orang lain. Ternyata ghibah yang dilakukan seseorang, dengan harapan orang akan memmberikan penilaian ‘lebih’ pada dirinya dan disisi lain menjatuhkan martabat orang lain, ternyata malah berlaku sebaliknya.
Ketiga, side effect yang paling berbahaya yaitu buah dari merajalelanya ghibah yang merupakan perilaku zalim ini adalah hilangnya barokah dan kesejahteraan. Sebuah riwayat dari Ummu Salamah menyebutkan: “Jika kemaksiatan merajalela di tengah umatku, Allah pasti menimpakan secara merata adzab dari sisi-Nya.” Aku (Ummu Salamah) bertanya, “Tidak adakah ditengah mereka saat itu orang-orang saleh?” Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Ada.” Aku bertanya, “Lalu apa yang dilakukan terhadap orang saleh itu?” Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Akan menimpa mereka apa yang menimpa orang-orang pada umumnya, kemudian mereka mendapatkan ampunan dan keridhoan (dari Allah).” (Imam Ahmad).
Ketika ghibah sudah menjadi kebiasaan (mewabah) maka doa tidak dikabulkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di masa nabi Musa As Allah pernah tak mengabulkan doa kaum nabi Musa karena ada peng-ghibah diantara mereka. Akhirnya Nabi Musa dan kaumnya melakukan taubat bersama.
Ghibah tergolong penyakit hati yangmenghalangi masuknya diri dalam keindahan suga, bahkan dapat menarik diri pada derita neraka. Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam pernah mengatakan kepada para sahabat bahwa dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, beliau mencium bau busuk di Sidratul Munthaha. Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam menerangkan bahwa itu adalah baunya orang-orang peng-ghibah dari umat-umat terdahulu, yang masih tercium begitu kuat karena saat ini pun ghibah sudah mewabah karena hampir semuanya melakukannya.

Membebaskan Diri
Tidak dipungkiri sangat sedikit diantara kita yang selamat dari penyakit ghibah. Kalau pun tidak melakukan ghibah, mungkin menjadi peserta ‘majelis’ ghibah, atau penikmat acara dengan konten ghibah di TV. Meski demikian, tidak ada kata terlambat bagi kita untuk bertaubat dan meninggalkan perbuatan keji itu. Hali ini juga berlaku luas, tidak hanya pada personal atau pribadi saja. Sehingga amatlah tepat jika kita menggunakan istilah membebaskan diri (uzlah) bersama-sama dari kemaksiatan/kezaliman ghibah ini. Ini harus menjadi agenda kita bersama, agar ghibah tidak mewabah dan berakibat pada turunnya adzab Allah.

Ada 2 cara bertaubat dari ghibah.
1. Bahwa orang yang menghibah harus datang kepada yang ia ghibahi dan memohon maaf serta meminta kerelaannya
2. Jika yang dighibahi telah mengetahui, maka ia harus datang dan meminta kerelaannya, namun jika yang dighibahi tidak tahu, cukup dengan memohon ampun untuknya (mendoakannya) dan membicarakan kebaikannya ditempat-tempat ia meng-ghibah-inya, karena kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan.
Cara kedua inilah yang lebih maslahat (membawa manfaat) sebagaimana dikuatkan oleh perkataan Ibnu Katsir: “Tidak diisyaratkan orang yang menghibahi saudaranya meminta penghalalannya. Karena jika ia memberitahu, terkadang orang di-ghibah-i lebih tersakiti jika dibandingkan dia belum tau, maka jalan keluarnya hendaknya memuji dengan kebaikan-kebaikan yang dimilikinya ditempat-tempat dimana ia telah mencela saudaranya.”
Adapun mengenai cara menangkal ghibah, syeikh Muhammad Yusuf Qardhawi dalam buku Halal dan Haram dalam Islam, menyebutkan:
1. Selalu berfikir sebelum berbicara
Selalu brfikir antara perlu atau tidak, mudharatnya apa; saat hendak berbicara. Kendalikan lisan dengan senantiasa mengendalikan pikiran, dalam keadaan sesantai apapun. Seperti Rasulullah Shalallohu ‘Alaihi Wasallam yang biasanya memeri jeda sesaat untuk berfikir sebelum menjawabpertanyaan orang.
2. Berbicara sambil dzikir
Senantiasa menghadirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ingatan kita. Mengingat betapa benci dan buruknya ancaman Allah kepada orang yang ber-ghibah, setiap kali kita berbicara dengn siapa daja, dimana saja dan kapan saja.
3. Tingkatkan rasa percaya diri
Biasanya orang yang ‘gemar’ ber-ghibah,tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak memiliki kebanggaan terhadap diri sendiri. Ia lebih senang memperhatikan, membicarakan, dan menilai orang lain atau menggunakan ghibah sebagai alat untuk mencari perhatian dalam bergaul.
4. Buang penyakit hati
Ghibah bisa tumbuh dilatarbelakangi oleh iri, kebencian, prasangka dan ketidakikhlasan menerima kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung. Senangnya diri pada ghibah, lebih dikarenakan merasa ada teman yang tak beruntung atau ‘tak bersih’ layaknya dirinya.
5. Pupuk rasa empati
Posisikan diri sebagai orang yang hendak kita bicarakan keburukannya, bagaimana perasaannya. Sehingga hal ini akan ‘menjaga’ kita. Ingat bahwa Allah akan menutupi aib kita sepanjang kita tidak membuka aib orang lain, Allah pun akan membuka cacat kita di depan orang lain jika kita membuka cacat orang.
6. Hindari, ingatkan, diam atau pergi
Hindari segala sesuatu yang mendekatkan kita pada ghibah; tayangan bernuansa ghibah, kegiatan yang didalamnya mungkin akan ditemui banyak aktivitas ghibah. Jika terjebak dalam situasi ghibah, diam, tak menanggapi, mengalihkan pembicaraan atau pergi ‘menyelamatkan diri’.
Maka sebagai seorang muslim mukmin kita harus terus berusaha untuk menjaga lisan dari hal-hal yang membawa madharat seraya terus memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar dimampukan untuk menjaga lisan-lisan kita. Memohon kepada Allah untuk diberikan kekuatan dan hidayah agar kita tidak terjatuh dalam penyakit yang berbahaya ini, bahkan lebih dari itu perlu banyak menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berbicara kecuali sesuatu yang bermanfaat bagi pribadi maupun untuk kemslahatan umat. Menjadi jiwa-jiwa yang indah dengan menjadi pribadi yang pemaaf, selalu berbagi (menebar kebaikan), mampu menjaga aib orang lain, dan itsar (mendahulukan orang lain). Sehingga -meminjam istilah ustadz Fauzil Adhim- mampu memberi bobot bagi bumi dengan ketaatan dan kalimat tauhid.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”(QS Al-Ahzab : 70-71)